Alibi.id [6/8/2022] – Aceh terkenal dengan komoditas kopi dan nilamnya, daerah yang dijuluki tanah rencong itu telah dinobatkan sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbaik di dunia.
Kopi itu sendiri biasanya sering diolah menjadi aneka minuman, namun kini kopi mulai diproduksi sebagai aroma parfum dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan merek Minyeuk Pret.
UMKM parfum Minyeuk Pret dirintis Daudy Sukma pada April 2015 dengan memanfaatkan potensi komoditas di Aceh ia mendirikan usahanya di Lam Ara, Kota Banda Aceh.
Minyeuk Pret, dipilih sebagai branded Parfum yang di produksi Daudy Sukma, dalam bahasa Aceh berarti minyak wangi.
Daudy Sukma menceritakan awalnya Minyeuk Pret hadir berangkat dari keresahan atas eksploitasi komoditas lokal oleh bangsa asing. Selama ini, nilam Aceh sebagai tanaman terbaik di dunia, hanya dimanfaatkan bahan baku saja, tanpa ada nilai tambah atau added valuenya.
Untuk mengangkat budaya, sejarah dan nilai-nilai bangsa Aceh kepada dunia melalui wewangian.
Berangkat dari kegelisahan itulah kemudian dirinya berpikir untuk memproduksi Parfum. Sebab keberadaan nilam dan kopi sebagai bahun baku utama mudah diperoleh di daerah ini.
Pada sisi lain, terang Daudy Sukma, Minyek Pret hadir menciptakan parfum lokal agar menjadi alternatif pilihan berbeda di tengah membanjirnya parfum impor yang masuk ke Indonesia.
Minyeuk Pret berasal dari bumi Aceh yang memposisikan diri sebagai pelopor dan inovator di industri parfum branded yang bertujuan untuk mengangkat budaya, sejarah dan nilai-nilai bangsa Aceh kepada dunia melalui wewangian.
Ia mengungkapkan, pada saat peluncuran perdana Parfum Minyeuk Pret, dalam tempo 8 jam, dirinya berhasil menjual 1.683 pcs, dan hal tersebut menjadi sejarah penting bagi kehadiran Minyeuk Pret di Aceh.
“Terjual 1.683 pcs di hari perdana kita hadir, itu sesuatu yang fenomenal,” kata Daudy belum lama ini.
Kini, usaha pembuatan parfum Minyeuk Pret telah berjalan 7 tahun. Di usianya yang relatif muda itu, keberadaan produk parfum itu telah merambah pasar lokal, nasional, dan bahkan internasional.
Minyeuk Pret sendiri, menciptakan ragam dan jenis dan aroma parfum, seperti Coffe, Seulanga, dan Meulu, serta varian lainnya yang disenangi kawula muda.
Daudy Sukma mengatakan, Minyeuk Pret bukan hanya sudah dipatenkan di Indonesia, tetapi juga di Amerika. Bahkan, proses mematenkan sedang dilakukan di Inggris. Selain hak paten, Minyeuk Pret juga sudah mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Bahkan Coffee dan Meulu mendominasi pasar parfum di Aceh saat ini.
“Sekarang sedang proses dipatenkan di Inggris, mudah-mudahan cepat selesai,” kata Daudy Sukma.
Kata Daudy Sukma, produksi Minyeuk Pret setiap hari mencapai 500 pcs dengan tiga kategori, yaitu kategori Legendaris (Seulanga, Coffee, Meulu) dengan ukuran 30 ml, kategori Premium (Sanger, Jeumpa) dengan ukuran 50 ml dan Kategori Kamaliah dengan ukuran 50 ml.
“Kategori Legendaris harganya Rp125 ribu, Premium harganya Rp270 ribu dan Kamaliah Rp247 ribu,” sebut Daudy Sukma.
Daudy Sukma menjelaskan, penamaan beragam varian itu menunjukkan ciri khas keacehan, seperti bungong seulanga, kopi, meulu, sanger, hingga bungong jeumpa.
Dengan khazanah budaya lokal, kata Daudy Sukma, Minyeuk Pret hadir dan bersaing di tengah sedang gentol-gentolnya pengusaha parfum menamai brand produk minyak wangi mereka dengan sederetan nama artis ternama.
“Alhamdulillah kita bersaing, dan bahkan Coffee dan Meulu mendominasi pasar parfum di Aceh saat ini,” ujar Daudy Sukma.
Bertahan di tengah Pandemi
Minyeuk Pret menjadi salah satu industri kecil menengah (IKM) di Aceh yang mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19. Strategi finincing yang diusung oleh Daudy menjadi salah satu penyebab usaha tersebut bertahan.
Finincing itu sendiri merupakan metode perusahaan dalam mengandalkan saldo laba atau keuntungan yang tidak dibagikan secara dividen kepada karyawan.
Keuntungan Minyeuk Pret saat itu, terang Daudy Sukma, setidaknya mampu membiayai biaya produksi hingga 8 bulan lamanya, meski pemasukan sedang nihil.
Pada awal-awal pandemi antara Maret-April 2020, Daudy Sukma menjelaskan bahwa Minyeuk Pret benar-benar terpuruk. Penurunan penjualan mencapai 58 persen, sehingga Daudy Sukma berinisiatif menggunakan metode financing demi bertahan selama pandemi.
“Jadi pada kondisi saat itu, saat penjualan sangat kecil, Minyeuk Pret tetap bertahan untuk 8 bulan ke depan apabila pandemi terus berlanjut,” ujar Daudy Sukma.
Tak sampai delapan bulan lamanya, kata Daudy Sukma, Minyeuk Pret kembali bangkit perlahan, terutama saat hari raya Idulfitri dan Iduladha. Pada momen sakral umat Islam ini, penjualan Minyeuk Pret mengalami sedikit peningkatan.
“Bulan 5 kan lebaran, kemudian terjadi kembali penjualan Minyeuk Pret,” tutur Daudy Sukma.
Saat itu, kata Daudy Sukma, penjualan Minyeuk Pret kembali stabil, meskipun tak sama sebelum terjadinya pandemi. Ia beryukur pandemi Covid-19 sudah mereda di Bumi Serambi Makkah, dan dunia pada umumnya.
Selain tersedia di Jalan Wedana, Nomor 104, Lam Ara, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh, pembelian Minyeuk Pret juga dapat dilakukan di pasar online atau outlet yang tersebar di seluruh Indonesia.
Untuk harga dan varian Minyeuk Pret, maka dapat diakses di Instagram @minyeukpret dan @minyeukpreet atau website minyeukpret.com. Selain jenis dan harga, di sana juga bisa ditemukan beragam promo yang disediakan oleh perusahaan.
“Di Banda Aceh, kita juga memiliki outlet mitra, seperti Pusaka Souvenir Peunayong, Cantik Bintang Batoh, Piyoh Ulee Kareng dan beberapa lainnya,” kata Daudy Sukma.
Sementara itu, Kepada Bidang Pengembangan Industri Agro dan Manufacture Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh, Ridhwan, mengatakan, pihaknya telah membuat skema perencanaan penguatan pengembangan kawasan terintegrasi dalam pengembangan komoditas unggulan.
Pengembangan nilam merupakan langkah strategis dalam menumbuh kembangkan sektor agroindustri di Aceh. Diperkirakan 90 persen tanaman aromatik selama ini diusahakan oleh petani atau pengrajin di pedesaan dalam bentuk industri kecil.
Kata Ridwan, sekarang 17 kabupaten di Aceh mulai menanam nilam. Saat ini sentra Industri Kecil dan Menengah (SIKM) produksi nilam berada di Aceh Selatan, Aceh Jaya, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Nagan Raya dan Aceh Utara. Pengelolaan Sentra IKM mulai dari penguatan akses bahan baku, penguatan kompetensi tenaga kerja, penguatan permodalan, penguatan teknologi, inovasi dan kreatifitas, serta penguatan jaringan.
“Prospek ekspor komoditi nilam pada masa yang akan datang masih cukup besar, mengingat tingginya permintaan dunia untuk minyak nilam,” katanya.
Menurut Ridwan, program bersama ini akan mendapat dukungan pengembangan lintas instansi pemerintah pusat dan daerah. Seperti dukungan ketersediaan bahan baku, sertifikasi, pangsa pasar, keterampilan SDM, akses permodalan, sarana produksi yang modern, serta sistem informasi dan tata kelola yang baik. (**)
Discussion about this post