Pengamat politik dari Universitas Paramadina Arif Susanto menyebut politik kekerabatan atau politik dinasti menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah setiap penyelenggaraan pilkada.
Arif mengatakan jumlah kandidat yang berkaitan dengan politik kekerabatan terus meningkat karena ada kans menang besar. Hubungan kerabat dengan elite politik dinilai sebagai modal ampuh memenangkan pilkada.
“Dalam tiga pilkada terakhir, ada kecenderungan meningkat. Sekarang saja ada 124 kandidat terafiliasi dengan elite tertentu yang sedang menjabat, apakah di daerah atau di pusat,” kata Arif dalam sebuah diskusi, Rabu (28/10).
Mengutip catatan peneliti dinasti politik Yoes Kenawas, ada 202 calon yang terkait dinasti politik pada pilkada 2015, 2017, dan 2018. Sebanyak 117 di antaranya menang, sedangkan 85 lainnya kalah.
Arif menyampaikan tak sepakat dengan gagasan mencabut hak politik orang yang terkait dinasti politik. Namun ia mengatakan publik harus paham bahaya dari dinasti politik.
“Yang perlu kita lihat adalah pemusatan kekuasaan di tangan jaringan patronase elite yang kemudian terkait fenomena korupsi,” ujarnya.
Dia memberi sejumlah contoh politik kekerabatan berujung korupsi. Misalnya kasus suap proyek infrastruktur di Kutai Kartanegara pada Juli lalu.
KPK meringkus Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria yang merupakan suami-istri. Uang suap miliaran rupiah diduga akan digunakan untuk pemenangan Ismunandar di pilkada kali ini.
Lalu ada kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Kendari tahun 2017-2018. Kasus itu menyeret Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun. Keduanya punya hubungan anak-ayah.
“Patronase politik itu memang luar biasa menggurita di banyak tempat sehingga para kepala daerah seolah menjadi raja-raja kecil di banyak daerah yang mengekstraksi sumber-sumber keuangan daerah,” tuturnya.
Sumber: CNN Indonesia
Discussion about this post