ALIBI.id [18/10/2022] – Kekayaan ragam serta cita rasa nikmatnya akan kuliner Aceh memang telah tersohor hingga ke mancanegara. Khazanah kuliner ini diwariskan oleh leluhur terdahulu seperti bu minyeuk, kuah beulangong, sie reuboh dan sejumlah kuliner tradisional lainnya.
Umumnya tradisi masyarakat Aceh, terutama Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, masakan khas tersebut menjadi menu utama pada hari besar Islam, seperti bulan Ramadan, Idul Adha, Idul Fitri dan Maulid Rasul.
Nikmat atau tidaknya kuliner sangat bergantung pada resep atau bumbu yang diracik
Memasak masakan khas Aceh bukanlah pekerjaan asal-asalan. Nikmat atau tidaknya kuliner tersebut sangat bergantung pada resep atau bumbu yang diracik.
Pada era sekarang, dengan aktifitas pekerjaan masyarakat yang semakin padat, sebagian kecil ibu rumah tangga lebih memilih membeli bumbu masakan yang telah jadi, sehingga tidak membutuhkan waktu lama dalam proses memasak hidangan di rumah atau pada acara hajatan tertentu.
Memang, bumbu masakan tradisional khas Aceh cukup mudah ditemui di pasaran, salah satunya bumbu masakan milik Zaymar.
Zaymar sendiri merupakan singkatan dari Zahra, Yusuf dan Maryam. Ketiga nama ini merupakan putra-putri dari pasangan Faisal dan Inayatillah. Faisal merupakan owner Zaymar dan Inayatillah sebagai marketing yang fokus pada bidang pemasaran produk tersebut.
Faisal dan Inayatillah merintis usaha itu pada awal 2020 silam. Tak tanggung-tanggung, di tahun pertama, Zaymar langsung mendapat pengakuan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari pemerintah sebagai merek bumbu masakan.
“Usaha ini saya jalankan bersama suami. Suami bagian produksi, saya di bagian marketing,” kata Inayatillah saat ditemui, pekan lalu.
Di awal berdiri, Zaymar hanya memproduksi bumbu nasi minyak (bu minyeuk) dan bawang goreng. Kedua jenis produk ini merupakan lanjutan dari usaha yang telah berjalan sejak 2017 bersama suami dan keponakannya.
Inayatillah awalnya belajar meracik bumbu masakan Aceh dari ibunya. Nasi minyak ini bahkan menjadi menu utama saat lebaran Idulfitri maupun Idul Adha. Inayatillah kemudian berpikir bagaimana caranya nasi minyak ini tetap abadi sampai kapan pun, bukan hanya saat lebaran.
Dari sinilah ihwal sosok Inayatillah kemudian mencoba membuat bumbu nasi minyak, lalu dikemas agar bisa disimpan dalam waktu yang lumayan lama. Sehingga, bumbu nasi minyak ini bisa dipasarkan dan dinikmati oleh orang lain tanpa batasan.
“Jadi nasi minyak ini bukan hanya untuk orang di zaman dahulu, mama muda juga bisa menikmati nasi yang orang zaman buat kaya rempah itu,” ujar Inayatillah.
Di penghujung tahun 2019, Innayatillah dan keponakannya mengalami ekspansi dan proses produksi dilakukan secara terpisah. Kemudian dia dan suaminya sepakat untuk membuat merek Zaymar. Mereka memulai bisnis dengan semangat baru.
“Dengan merek baru, semangat baru, kreativitas baru, Alhamdulillah dari produk awal nasi minyak dan bawang goreng, kita coba racik lagi, yaitu bumbu kanji rumbi,” ujar Inayatillah.
Tidak hanya tertahan pada bumbu kanji rubi, Zaymar juga kembali meracik bumbu nasi briyani yang telah akrab dengan lidah nasional masyarakat Indonesia. Peluncuran produk bumbu ini pun dilakukan setelah melakukan berbagai pertimbangan dan kajian, sehingga rasanya pas dan diterima pasaran.
“Sebelum diproduksi, kita coba beli punya orang dulu, merek dari luar, kita coba rasa ternyata aromanya terlalu kuat. Bagi saya yang orang Aceh Besar, tidak terlalu suka dengan rasa yang terlalu kuat. Akhirnya coba-coba pakai rempah-rempah dari pasar kita sendiri, lahirlah nasi briyani rasa Nusantara, bukan rasa India atau Pakistan lagi,” ucap Inayatillah.
Gayung bersambut, keempat jenis produk itu mendapat respon baik di pasaran, Zaymar kemudian memproduksi bumbu sie reuboh. Bumbu untuk masakan khas Aceh Besar ini saat itu belum ada yang produksi dalam kondisi kering.
“Bumbu si reuboh yang ada saat itu dalam kondisi basah. Rasa khas cuka nira itu beda, itu cuka nira Montasik, beda dengan cuka khas itu beda. Akhirnya kita berpikir, kalau bisa bumbu-bumbu kita itu diracik tanpa tambahan bumbu lainnya,” katanya.
Lagi-lagi, untuk menambah katalog bumbu pada usaha Zaymar, Innayatillah memproduksi bumbu kuah beulangong. Semua bahan-bahan dikeringkan dan diolah, lalu dikemas dalam kemasan aluminium foil. Innayatillah memilih jenis kemasan ini agar isi kemasan tetap terjaga, meski disimpan 1 hingga 2 tahun.
Sukses di bumbu kuah beulangong, Zaymar kemudian meluncurkan bumbu ayam masak Aceh. Bumbu jenis ini juga laris manis di pasaran. Berikutnya, Zaymar juga memproduksi bumbu mie Aceh.
“InsyaAllah kita akan produksi beberapa produk lain. Kemarin sudah ada permintaan masak putih, mungkin produk ini yang akan kita coba launching ke depan,” tutur Zaymar.
Kiat-kiat raup untung puluhan juta
Setelah sempat terpuruk di awal-awal berdiri tahun 2020, Zaymar kini sedang eksis dengan bumbu masakan yang mereka tawarkan. Bukan tanpa alasan, Zaymar menyebut, setiap bulan mereka raih omzet sekitar Rp25 juta.
Hadir di tengah masyarakat, Zaymar juga memberikan dampak positif bagi lapangan kerja. Proses produksi yang berlokasi di Beurawe, Banda Aceh, melibatkan beberapa warga sekitar.
“Untuk bawang goreng misalnya, tetangga tugasnya kupas-kupas bawang, jadi usaha kita bisa mempekerjakan orang lain, ini yang membuat saya terus semangat dan termotivasi,” ucap ibu tiga anak ini.
Produk Zaymar bisa didapatkan di tempat usahanya di Jalan Cut Makmum No. 7, Beurawe, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Produk ini juga bisa dibeli di toko-toko, warung sayur dan swalayan di wilayah Banda Aceh.
Zaymar bumbu juga hadir di marketplace, seperti Shoopee dan Tokopedia. Selain itu, Zaymar juga dapat dibeli dengan menghubungi Instagram @zaymarbumbu. Adapun kisaran harga yang ditawarkan setiap produk mulai Rp5 ribu hingga Rp30 ribu, tergantung variannya.
Inayatillah menyadari, Zaymar eksis tak terlepas dari peran saudara, teman dan para konsumen, karena mereka melakukan promosi produk tersebut dari mulut ke mulut, hingga tembus ke Australia.
“Beberapa teman yang kuliah S3 ke luar negeri pasti bawa bumbu ini pas ke sana, nanti kalau ada temannya yang berangkat pasti dipesan lagi, karena bumbu ini tahan sampai 2 tahun,” ucap Inayatillah.
Ia menyadari, optimalisasi usaha harus disokong dengan kualitas produk yang ditawarkan, baik rasa, khas dan kemasan. Inayatillah menambahkan, promosi mulut ke mulut tetap optimal, meskipun sekarang masanya serba teknologi.
“Alhamdulillah dari mulut ke mulut ini bisa jalan, walaupun kita belum pakai selebgram. Karena menurut saya yang paling efektif itu kualitas produknya dulu. Kalau masalah promosi nanti bisa sendiri,” ujarnya.
Keunggulan Zaymar
Zaymar hadir dengan mengusung konsep higenis, praktis dan komplit. Ketiga hal ini menjadi misi Zaymar dalam mempromosikan Aceh melalui bumbu kuliner tradisional khas daerah di berbagai penjuru Nusantara.
Zaymar hadir dengan beberapa keunggulan, di antaranya proses produksi dilakukan dengan memperhatikan kesehatan. Sebelum diproduksi, seluruh bahan-bahan yang akan dijadikan sebagai bumbu dibersihkan terlebih dulu.
“Jadi ada proses penyucian di situ. Jadi sekmentasi yang saya sasar itu juga kalangan yang peduli akan higienis tadi. Saya tidak menengah atas saja, yang kelas bawah karena harga terjangkau, mereka juga beli,” ujarnya.
Sementara praktis dan komplit adalah dua hal yang menyatu. Kedua hal ini pula membuat ibu rumah tangga, pecinta kuliner tidak kerepotan saat hendak memasak masakan khas Aceh.
“Dia sudah lengkap satu. Tidak perlu nampak bumbu apapun, kayak si reuboh, beli daging, tuangin garam, langsung cemplung,” kata Inayatillah.
Di usianya yang ketiga tahun, beberapa produk Zaymar telah tersertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara beberapa lainnya dalam proses pengajuan.
“Ada beberapa yang sudah tersertifikasi halal, mungkin belum semua, karena ada yang masih proses pengajuan,” pungkas Inayatillah.
Discussion about this post