“Ingatan semakin berkurang, catatan-catatan hilang. Sumber-sumber visual seperti lukisan dan foto merupakan sumber sejarah yang bisa diandalkan untuk menyelamatkan kebenaran sejarah itu sendiri.”
ALIBI.id [3/10/2022] – Seni fotografi paling awal dengan tipe daguerreotype baru ditemukan tahun 1839. Dalam artian foto baru hadir ketika Perang Padri baru saja usai, atau dengan kata lain fotografi belum ada ketika Perang Diponegoro di Jawa tahun 1825-1830.
Sepanjang 75 tahun akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, Aceh merupakan daerah yang paling banyak dipotret oleh Belanda. Umumnya, Belanda menggambarkan Aceh melalui karya foto, walau ada juga yang berbentuk sketsa pensil, cat air, dan beberapa kartun surat kabar, semuanya direkam pada tahun 1873 hingga 1939.
Gambar tertua koleksi Belanda tentang Aceh adalah sebuah karya litograf warna yang dibuat tahun 1873, tahun ketika Belanda menyerang Aceh pertama sekali. Gambar ini melukiskan pesisir Aceh yang dilihat dari seberang laut, menggambarkan bagaimana pertahanan Aceh yang harus dihadapi Belanda dalam invasi pertama—invasi pertama Belanda ke Aceh gagal, Jenderal Belanda Harmen Rudolf Kohler tewas dalam pertempuran tersebut pada 14 April 1873 di halaman depan Masjid Raya Baiturrahman, Aceh.

Karya foto kamera pertama tentang Aceh yang diambil oleh orang Eropa tercatat pada tahun 1874. Foto tersebut merekam serangan Belanda kedua, sumber-sumber Belanda menyebutnya sebagai ekspedisi militer.
Karya Zandvliet’s berjudul The Dutch Encounter with Asia, 1600-1950 juga menampilkan begitu dominannya tema-tema perang tentang Aceh yang diangkat, gambar meliputi; peta kuno, bendera milisi yang tertangkap, perisai Aceh, markas penting angkatan laut di pelabuhan Sabang, potret dua jenderal yang sedang memimpin pasukan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL, tentara Hindia Belanda) di Aceh.
Boomgaard dan Van Dijk dalam bukunya berjudul Indië Boek. Untuk tema Aceh Boomgaard mengambil foto makam sultan, Masjid Baiturrahman, Jendral J.B van Heutsz, pegawai KNIL, dan pegawai Aceh, akan tetapi tidak ada foto Aceh mengenai budaya dan alam. Berbeda halnya ketika Boomgaard membahas daerah lainnya di Indonesia, mereka menampilkan sudut alam, elite politik, transportasi, kota, industri utama, dan pendidikan dalam karya tersebut.
Karya Zandvliet’s berjudul The Dutch Encounter with Asia, 1600-1950 juga menampilkan begitu dominannya tema-tema perang tentang Aceh yang diangkat
Perlu untuk diketahui, Boomgaard turut menampilkan satu foto gajah dalam membahas Aceh. Binatang berbelalai ini sedang mengangkut peralatan militer milik KNIL, foto ini diambil sekitar tahun 1924. Setelah meninggalkan jasa gajah dalam pengangkutan suplai militer, Belanda mencoba menggunakan tenaga para kriminal dari Jawa untuk memindahkan suplai militer dan bahan bangunan pembangunan jalan raya serta rel kereta api. Sejumlah 20.000 orang Jawa menjalani hukuman sebagai pekerja di Aceh yang nantinya mengalami tingkat kematian tinggi lantaran dipekerjakan secara tidak manusiawi.
Fotografer Indo Jean Demmeni (1866-1939) merupakan seorang anak laki-laki warga Prancis yang meniti karier militernya di Aceh hingga berpangkat mayor jenderal. Jean Demmeni yang lahir di Hindia Belanda akhirnya masuk militer dan berkarier di Dinas Topografi kolonial, ia pergi ke seluruh Nusantara untuk mengambil foto-foto penting.
Di Sumatra, Jean Demmeni memotret orang berpakaian mewah di Lampung, sawah dengan irigasi di lereng Minangkabau, masjid-masjid dan sekolah Islam di Padang, kapal getek kanoe di Mentawai. Akan tetapi foto jepretan Jean Demmeni tentang Aceh dipilih umumnya bertema militer, seperti; unit KNIL, kereta angkut suplai barang yang ditarik kuda dan kuli-kuli sebagai porter, dan foto rumah sakit lapangan untuk militer.

J.R. Diessen dan R.P.G.A Voskuil pegawai Belanda yang pernah ditugaskan untuk mengambil foto udara Aceh, mereka berdua bukannya mengambil foto kehidupan desa atau perkotaan di Aceh, melainkan memotret markas-markas militer dan infrastruktur modern seperti pelabuhan, rel kereta api, jembatan, dan gubuk-gubuk suplai barang.
Antara tahun1893 sampai 1930-an, ribuan foto dicetak menjadi kartu pos bergambar kota-kota di Indonesia, lanskap, arsitektur kuno dan modern, bahkan foto studio gaya Hindia. Tahun 2004 silam Haks dan Wachlin mencoba mengumpulkan gambar-gambar tersebut untuk sebuah penerbitan berjudul Indonesia: 500 Early Postcards.
Lagi-lagi Aceh muncul lewat foto sebuah rel kereta api, dan lima kartu pos dari Sabang sebuah daerah di Pulau Weh yang dikelilingi pelabuhan strategis, markas angkatan laut, pusat batubara, fasilitas doking kapal, serta beberapa mercusuar.
Rob Nieuwenhuys mengambil foto-foto tentang Aceh dari koleksi Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) dalam penyusunan karyanya berjudul Tempo Doeloe. Foto tentang Aceh memuat tentang kerja paksa, penghias batu nisan KNIL yang tewas di medan pertempuran, kuburan massal orang Aceh tanpa nama, tawanan perang, figur-figur penentang Belanda seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.
Brau de Saint Pol Lias mengatakan bahwa ia belajar fotografi di Aceh. Ia menggambarkan bagaimana kesulitannya dengan seorang pembantu dari Jawa yang membawa peralatan kamera dan peralatan cuci cetak foto selama dalam perjalanan mengelilingi pedalaman Aceh.
Foto tentang Aceh memuat tentang kerja paksa, penghias batu nisan KNIL yang tewas di medan pertempuran, kuburan massal orang Aceh tanpa nama, tawanan perang, figur-figur penentang Belanda seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.
R. Michael Feener, Patrick Daly, dan Anthony Reid dalam bukunya Mapping the Acehnese Past menyimpulkan, Aceh jarang diperlihatkan kecuali dalam dimensi perang. Aceh telah dibentuk melalui perang yang berkepanjangan, bahkan potret perang di tanah Aceh dalam bingkai Indonesia.
Sebagai daerah terakhir di Indonesia yang dijamah Belanda, Aceh memang tidak pernah takluk walau pada kenyataan akhir mereka kalah. Aksi poh kaphee (pembunuhan spontanitas) terhadap Belanda giat dilakukan oleh orang-orang Aceh, sehingga Belanda menyebut Aceh Morden (Aceh Gila) untuk orang-orang Aceh yang memiliki mental kegilaan berperang.
“Ada ruh jihad yang dikandung dalam jiwa masyarakat Aceh. Jihad mempertahankan daerahnya dari penjajahan Belanda. Orang yang berperang melawan penjajahan akan dijanjikan al-jannah (surga) ketika ia syahid di medan pertempuran, sedangkan yang ingkar tidak mau melawan akan mendapat balasan annar (neraka) kelak,” sebut Muhjam Kamzah saat diwawancarai media ini, Senin (3/10/2022). Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini mencoba menguak landasan masyarakat Aceh dalam berperang.
Benar saja, H.C. Zentgraaff seorang juru tulis Belanda yang melihat langsung pertempuran perang antara Belanda dan Aceh, ia menyebut bahwa tidak ada perang hebat yang dialami Belanda kecuali perang melawan orang-orang Aceh. Hal ini menjadi penguat bukti-bukti rekaman foto yang telah dijabarkan di atas, menyimpulkan bagaimana sudut pandang Belanda dan kebanyakan peneliti sejarah melihat Aceh dengan ‘kacamata’ perang.
*Penulis: M. Yusrizal, berprofesi sebagai guru sejarah di SMA Negeri 11 Banda Aceh.
Discussion about this post