“Pengembangan kurikulum Indonesia terlihat bersifat top-down yang menjadi otoritas Pemerintah Pusat,” Sufandi Iswanto.
ALIBI.id [31/12/2022] – Kurikulum merupakan salah satu komponen terpenting untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum secara sengaja direncanakan dan dikembangkan untuk menjadi acuan dalam pembelajaran.
Banyak para ahli pendidikan setuju jika kurikulum disebut sebagai dokumen yang mencakup materi, cara, niat, tujuan, dan usaha untuk kemajuan pendidikan.
Pada Februari 2022 Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Kurikulum Merdeka untuk dunia pendidikan Indonesia, dengan harapan merubah haluan pendidikan ke arah yang lebih baik.
Baca juga: Pemerintah Aceh ingatkan tidak ada suap dalam seleksi guru P3K
Timbul pertanyaan, apakah pengembangan Kurikulum Merdeka telah melalui perencanaan yang matang untuk memajukan pendidikan di Indonesia sesuai dengan abad 21?
Dari awal tahun 2022, rencana penerapan Kurikulum Merdeka telah menimbulkan bermacam reaksi dari berbagai kalangan. Perubahan kurikulum dianggap sudah menjadi agenda yang menimbulkan kata “ganti menteri ganti kurikulum”.
Ungkapan tersebut sebenarnya tidak salah, karena faktanya memang setiap berganti menteri maka akan berganti kurikulum baru. Buktinya, Kurikulum 2013 yang dianggap belum berjalan secara maksimal, malah sudah berganti lagi dengan kurikulum baru dengan menteri baru.
Walaupun Mendikbudristek sendiri masih memberikan opsional terhadap masing-masing sekolah untuk memilih kurikulum sesuai dengan situasi dan kondisi, namun tetap saja opsi tersebut tidak merubah reaksi masyarakat terhadap kurikulum baru.
Pergantian dan perubahan kurikulum sebenarnya tidak salah, karena kurikulum yang baik adalah kurikulum yang mampu mengikuti perkembangan zaman. Pun, Kurikulum Merdeka sendiri sebenarnya telah disesuaikan dengan perkembangan abad ke-21.
Kurikulum Merdeka dirancang dengan struktur yang lebih fleksibel, fokus pada materi esensial, pembelajaran menggunakan beragam perangkat pembelajaran, dan memanfaatkan teknologi digital. Selain itu, kurikulum tersebut juga menekankan pada projek penguatan profil pelajar Pancasila, tentunya sesuai dengan tuntutan pendidikan di era digital untuk melahirkan peserta didik yang kreatif dan inovatif.
Baca juga: Pj Gubernur Aceh: Kesejahteraan guru biar jadi tugas pemerintah
Namun disisi lain, pengembangan kurikulum bukan saja semata-mata mengikuti perkembangan zaman. Murray Print seorang professor bidang pendidikan dan kurikulum dari The University of Sydney dalam bukunya yang berjudul “Curriculum Depelopment and Design” memberikan gambaran bagaimana tahapan merancang dan mengembangkan kurikulum.
Pertama, menurut Print, yang perlu diperhatikan dalam merancang kurikulum adalah curriculum presage yang di dalamnya terdapat situational analysis atau analisis situasi dan kebutuhan.
Analisis kebutuhan dilakukan dengan cara menentukan ketidaksesuaian antara situasi dan kondisi yang sedang berlangsung dan dengan yang diinginkan. Tujuannya yakni untuk menentukan kebutuhan dan memprioritaskan kebutuhan sekolah.
Praktek ini sebagai peletak dasar untuk seperangkat tujuan kurikulum. Kemudian dilanjutkan dengan perumusan pernyataan tujuan dengan melibatkan seluruh guru, staf sekolah, masyarakat, orang tua siswa, dan bahkan siswa.
Dalam analisis situasional, ada dua faktor yang perlu dipertimbangkan. Pertama, faktor eksternal yang meliputi perubahan masyarakat, sosial budaya, tantangan sistem pendidikan, syarat pendidikan, sistem dukungan untuk guru, dan sumber daya. Kedua, faktor internal yang mencakup siswa, guru, etos sekolah, sumber daya materi, dan permasalahan yang dirasakan.
Terlihat bahwa ada faktor-faktor yang cenderung diabaikan, seperti halnya kesiapan siswa dan guru di daerah-daerah terpelosok.
Tahapan ini hanyalah tahap awal dalam pengembangan kurikulum dan masih banyak tahap yang harus dilakukan untuk merancang sebuah kurikulum yang dianggap dinamis dan humanis.
Melihat dari apa yang ditawarkan Print, maka bisa dikatakan bahwa analisis menjadi salah satu acuan dalam merencanakan dan pengembangan kurikulum. Lalu, apakah dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum Merdeka telah melalui situational analysis seperti yang dinasihatkan Professor Print?
Dari faktor eksternal, Kurikulum Merdeka yang menekankan pada pembelajaran berbasis proyek memang telah sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat kita di abad ke-21, sistem pendidikan, dan syarat pendidikan.
Namun dari faktor internal, terlihat bahwa ada faktor-faktor yang cenderung diabaikan, seperti halnya kesiapan siswa dan guru di daerah-daerah terpelosok.
Alasan telah melibatkan guru dan siswa dari berbagai daerah, maka ada baiknya kita berkaca kembali pada saat penerapan Kurikulum 2013, dimana banyak guru pada dasarnya tidak siap terutama di daerah-daerah.
Baca juga: Pemerintah Aceh lakukan kerjasama dengan Lemhannas RI
Jika guru tidak siap lalu bagaimana dengan siswa. Seyogianya, pemangku kebijakan harus melihat Indonesia secara luas sampai ke pelosok-pelosok negeri Ibu Pertiwi ini dengan keberagaman masalahnya.
Selama ini, kurikulum kelihatannya hanya mempertimbangkan sekolah-sekolah yang memang siap untuk menggunakan kurikulum baru dalam bentuk apapun dan terfokus untuk sekolah-sekolah yang ada di kota.
Selain itu, selama ini ada kesan yang menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum Indonesia terlihat bersifat top-down yang menjadi otoritas Pemerintah Pusat. Pada akhirnya, kurikulum seperti dipaksakan yang tidak relevan dengan namanya Kurikulum Merdeka.
Di satu sisi, Kurikulum Merdeka memang memberikan harapan terhadap kemajuan pendidikan Indonesia untuk bisa berimbang dengan pendidikan negara-negara maju, walaupun itu butuh proses panjang.
Namun di sisi lain, Kurikulum Merdeka menjadi tantangan kita bersama terutama untuk guru dan siswa. Bagaimanapun tantangan terbesarnya adalah mau tidak mau, cepat atau lambat semua harus menerapkan Kurikulum Merdeka walaupun secara bertahap.
[Sufandi Iswanto: Dosen Prodi Pendidikan Sejarah, FKIP, USK dan Mahasiswa Program Studi Doktoral Teknologi Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya].
Discussion about this post