ALIBI.id [31/10/2024] : Aceh miliki banyak kerajinan khas masyarakat. Jika berkunjung ke daerah berjuluk serambi mekkah ini, membawa pulang cinderamata hal yang wajib sebagai oleh-oleh untuk sanak keluarga. Nah, salah satu produk yang wajib dibeli adalah rencong.
Rencong oleh-oleh khas Aceh, dibuat oleh para perajin. Bentuknya pun beragam, dari ukuran kecil hingga besar. Bahkan, tersedia dalam bentuk yang sudah dibingkai indah, cocok sebagai hiasan dinding, baik dirumah ataupun di kantor.
Menurut Catatan sejarah, rencong (dalam bahasa Aceh disebut Rincong atau Rintjong) merupakan senjata tradisional Aceh yang menjadi simbol keberanian, keperkasaan, pertahanan diri, serta kepahlawanan sejak dahulu.
Senjata pusaka ini telah digunakan sejak zaman Kesultanan Aceh, yang mana rencong akan selalu ada di selipan pinggang para sultan, ulee balang beserta para pejabat kerajaan lainnya kala itu, juga masyarakat Aceh sendiri.
Dari hasil penelusuran media ini, rencong dikenal pada awal Islam kesultanan tepatnya abad ke- 13. Namun sumber lain mengatakan, rencong muncul pada abad ke-16 Masehi atas perintah Sultan Alauddin al-Qahhar.
Seorang peneliti asal Australia, Barbara Leigh dalam bukunya berjudul “Tangan-tangan Terampil: Seni Kerajinan Aceh” menyebut bahwa senjata seperti rencong telah ada jauh sebelum pengaruh Islam masuk ke Aceh.
Barulah setelahnya, senjata tersebut diagungkan dan dikaitkan dengan bentuk aksara Arab. Leigh berpendapat bahwa penafsiran ini mudah dilakukan karena fleksibilitas bentuk huruf-huruf Arab.
Bentuk rencong dipercaya merepresentasikan kalimat ‘Bismillah‘. Gagangnya yang melengkung lalu menebal pada bagian siku ditafsir sebagai huruf Arab ‘Ba‘, sementara bagian gagang yang lurus dan digenggam melambangkan huruf ‘Sin‘, dan bagian meruncing tajam pada pangkal besi dekat gagang diartikan sebagai huruf ‘Mim‘.
Kemudian, bilah besi dari pangkal gagang hingga mendekati ujung melambangkan huruf ‘Lam‘, sedangkan ujung yang meruncing dengan bagian atas datar dan bagian bawah yang sedikit melengkung ke atas, diartikan sebagai huruf ‘Ha‘.
“Mata rencong tidak pernah berubah bentuk, karena bentuk mata itu mencerminkan kalimat Bismillah sebagai kalam pertama untuk memulai sesuatu pekerjaan di kalangan masyarakat Islam,” tulis T Syamsuddin dan M Nur Abbas dalam buku mereka berjudul “Reuncong“.
Masih berdasarkan sumber yang sama, tercatat rencong digunakan dalam peperangan sejak masa Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan Aceh, saat menghadapi penjajahan Portugis. “Rencong mulai menemukan bentuk yang sebenarnya pada waktu itu,” tulisnya.
Keberadaan rencong juga tercatat dalam Hikayat Pocut Muhamat pada abad ke-18 Masehi. Karya sastra ini menceritakan tokoh Pocut Muhamat yang memberi perintah untuk membuat rencong, sehingga besi terkumpul dari segala penjuru.
Zaman dulu, rencong dibuat oleh utoh, orang yang disebut empu atau perajin. Karena dianggap memiliki nilai magis tertentu, cara membuatnya pun tak boleh sembarangan, serta butuh waktu bertahun menyelesaikan sebilah rencong.
Pemakai rencong pun terbatas pada sultan dan uleebalang (kaum bangsawan) sebagai simbol kebesaran. Dalam perkembangannya, rencong digunakan berbagai kalangan sebagai perhiasan, perkakas, maupun senjata perang.
Sebagai perhiasan, rencong dipakai saat upacara pernikahan dan acara penting lainnya. Sebagai perkakas, rencong digunakan untuk melubangi pelepah rumbia yang dijadikan dinding rumah, kecuali jenis rencong tertentu yang dianggap bernilai religius.
Rencong juga menjadi senjata perang sekaligus lambang keberanian dalam melawan penjajahan. Selama Perang Aceh (1873-1904), tak sedikit pasukan Belanda yang terkena tikaman rencong para pejuang dan rakyat Aceh.
Sebut saja Tgk Umar, Panglima Polem, Tgk Chik Di Tiro, Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, serta yang lainnya adalah pahlawan-pahlawan Aceh yang tak melepaskan rencong dari pinggangnya saat melawan para penjajah, baik Portugis maupun Belanda.
Diketahui ada beberapa jenis rencong. Seperti Rencong Pudoi misalnya, rencong yang belum sempurna karena gagangnya lurus dan pendek, Rencong Meukure yang diberi hiasan pada mata pisaunya dan dianggap punya kekuatan magis.
Kemudian, Rencong Meupucok yang memiliki pucuk dan biasanya terbuat dari emas pada atas gagangnya, serta Rencong Meucugek yang gagangnya terdapat cugek (bentuk panahan dan perekat) agar mudah dipegang dan tak lepas saat menikam lawan.
Pemakaian rencong juga disesuaikan dengan strata sosial. Sultan dan ulee balang menyelipkan Rencong Meupucok. Golongan ulama memakai Rencong Meucugek dengan gagang yang dilapisi suasa, sedangkan rakyat biasa menggunakan Rencong Meucugek dengan gagang berlapis perak atau bahkan terbuat dari kayu atau tanduk.
Menurut Sri Waryanti dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh dalam “Makna Rencong bagi Ureueng Aceh” di jurnal Patanjala Vol. 5 No. 3, September 2013, dalam masyarakat Aceh terdapat kepercayaan rencong bisa melindungi pemiliknya dari gangguan makhluk halus atau mengobati kerasukan.
Rencong ini biasanya diwariskan turun-temurun dan dijaga dengan baik. Ia tak boleh dipakai kalau tak perlu betul atau dalam kondisi terdesak. Menyimpannya pun tak boleh sembarangan dan tempatnya harus dirahasiakan.
Tak hanya itu, ada juga pantangan lain yang sama sekali tidak boleh dilanggar. Sebagai contoh, bila kita ingin memperlihatkan sebilah rencong, kita tak boleh mengeluarkan dari sarungnya.
“Apalagi kita sampai mempermainkannya atau menyentik-nyentik ujung yang runcing itu di hadapan kawan ataupun di muka umum, hal itu sangat dilarang karena akibatnya akan dapat membawa malapetaka bagi pemiliknya,” ungkap Sri.
Saat ini, rencong lebih sering dipakai sebagai perhiasan atau atribut busana dalam upacara tradisional seperti pernikahan. Rencong yang dipakai biasanya dengan gagang berlapis emas dan ukiran bermotif, diselipkan di pinggang bagian depan.
Penggunaan rencong melambangkan keberanian seorang lelaki dalam memimpin keluarga setelah menikah. Selain itu, warisan budaya Aceh ini juga menjadi souvenir khas yang laris manis dari Bumi Serambi Mekkah.
Salah seorang pembuat rencong di Aceh Besar yakni Yudi Hidayat mengungkapkan, pekerjaan ini terus ditekuninya sebagai salah satu bukti kecintaan untuk Aceh, sekaligus melestarikan budaya.
“Alhamdulillah dengan menekuni pekerjaan ini, saya dapat membantu membangkitkan ekonomi keluarga dan warga sekitar, dan saat ini saya menjadi distributor rencong di berbagai toko suvenir di Aceh,” kata dia.
Harga yang sangat terjangkau menjadikan para pemilik toko senang mengambil rencong buatan Yudi. Harganya pun bervariasi, mulai Rp10 ribu hingga Rp150 ribu, tergantung ukuran dan jenis bahan bakunya.
“Ada juga yang lebih mahal lagi, tetapi itu tergantung pesanan konsumen,” ujarnya seraya menambahkan banyak orang luar negeri yang tertarik dengan rencong, seperti Malaysia dan yang lainnya.
Meski saat ini jumlah pembuat rencong terbilang semakin sedikit, namun perajin rencong masih ada di Aceh. Hasil kerajinannya tersebar luas dan dapat ditemukan di hampir semua toko kerajinan khas Aceh.
Harga sebuah rencong bisa dilihat dari ukuran. Semakin panjang rencong, semakin mahal pula harganya. Jika untuk rencong koleksi khusus, harganya bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Semoga pemerintah dapat menyelamatkan dan melestarikan aset sejarah Aceh dari abad ke abad yang sangat berharga ini. Jika tidak, Aceh tak akan pernah mendapat julukan sebagai “Tanah Rencong”.