ALIBI.id [30/11/2024] : Pemerintah Aceh saat ini sangat serius menangani sektor ekonomi kreatif. Melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, pemerintah menyerap aspirasi berbagai pihak untuk mengembangkan sektor tersebut sesuai arahan Menteri Ekonomi Kreatif (Menekraf) RI, Teuku Riefky Harsya.
Almuniza menyebutkan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini telah memisahkan Kemenparekraf menjadi dua kementerian yaitu Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif. Pemisahan itu diatur dalam Perpres Nomor 199 tahun 2024 tentang Kementerian Ekonomi Kreatif dan Perpres Nomor 200 tahun 2024 tentang Badan Ekonomi Kreatif.
Menekraf Riefky saat berkunjung ke Aceh pada Jumat 16 November lalu berharap kepala daerah terpilih membentuk dinas ekonomi kreatif dalam upaya fokus mengoptimalkan potensi ekonomi kreatif.
Untuk menindaklanjuti arahan tersebut, Disbudpar menggelar diskusi dengan berbagai pihak dari latar belakang berbeda di Ruang Rapat Disbudpar Aceh, Senin 25 November 2024. Diskusi dipimpin Kepala Bidang Pengembangan Usaha Pariwisata dan Kelembagaan Ismail yang mewakili Kadisbudpar Aceh Almuniza Kamal.
“Tujuan diadakan rapat itu untuk menghimpun pendapat pelaku ekonomi kreatif, praktisi, akademisi dan pengambil kebijakan terhadap rencana pembentukan Komite Ekraf Aceh, serta langkah-langkah strategis dan yang tepat untuk pengembangan sektor Ekraf baik terkait regulasi maupun lembaga penanggung jawab,” kata Almuniza di Banda Aceh, Sabtu 30 November 2024.
Menurutnya, ada 17 subsektor ekonomi kreatif dengan subsektor unggulan adalah kuliner, fashion dan kriya serta sub sektor prioritas adalah aplikasi, musik, permainan dan film, animasi, video. Almuniza menyebutkan, perlu kolaborasi berbagai pihak untuk memajukan subsektor tersebut.
“Perlu kolaborasi pentahelix dalam memajukan ekonomi kreatif, dukungan pemerintah untuk memprioritas penggunaan produk lokal merupakan modal utama dalam pengembangannya,” jelasnya.
“Nanti kita akan bentuk tim kecil untuk menelaah hasil pertemuan diskusi tersebut hingga menghasilkan rekomendasi kepada Gubernur agar sesegara mungkin melihat peluang Ekraft sebagai salah satu jawaban mengatasi pemangguran dan kemiskinan di Aceh,” ujar Almuniza.
Dalam diskusi, Pengamat Ekonomi Universitas Syiah Kuala Dr. Iskandarsyah Madjid, menyebutkan, di Aceh perlu segera terbentuk lembaga dinas yang menangani ekonomi kreatif. Lembaga itu diharapkan akan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor ekonomi kreatif mengingat semakin berkurangnya otsus.
“Semakin banyaknya komunitas ekonomi kreatif di Aceh merupakan suatu indikator tentang perlunya mereka terfasilitasi dengan baik. Dengan adanya gedung Amanah (kreatif Hub) dengan fasilitas yang sudah bagus dalam menjadi bengkelnya ekonomi kreatif bagi anak-anak muda Aceh,” kata Iskandar.
Akademisi Dr. Hamdani juga menilai perlu adanya penyusunan Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kreatif (Rindekraf) Aceh. Dinas khusus atau komite ekonomi kreatif dinilai perlu supaya lebih mudah berkoordinasi dengan kementerian terkait.
“Juga perlu adanya peraturan daerah (Qanun) sebagai landasan pengembangan sektor ekonomi kreatif,” jelasnya.
Sementara itu, Khairul dari IFC menyarankan event Lombok Fashion Festival dapat ditiru pemerintah Aceh dalam mengembangkan sektor fesyen. Selama ini masih terdapat kendala bagi perancang busana untuk membuat event di Aceh karena dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam.
“Belum adanya beasiswa untuk pelaku ekonomi kreatif khususnya fashion karena ekraf itu biasanya otodidak tapi perlu adanya pengembangan dengan mengikuti pendidikan,” jelas Khairul.
“Pemerintah perlu menghadirkan kurator-kurator yang ahli di bidangnya dalam melaksanakan suatu event atau pengambilan kebijakan di sektor ekonomi kreatif. Pemerintah harus bisa mengintervensi pengadaan barang dan jasa dan harus dievaluasi terhadap penggunaan produk lokal,” lanjut Khairul.